Rabu, 02 April 2014

“Pemilu dan Kepemimpinan Indonesia dalam Perspektif Politik Islam”



Seminar Politik
“Pemilu dan Kepemimpinan Indonesia dalam Perspektif Politik Islam”
Penerapan Syari’at Islam di Indonesia merupakan kewajiban. Banyak organisasi dan tokoh muslim membahas bagaimana Syari’at Islam bisa tegak di Indonesia. Salah satunya adalah dalam Seminar Politik “Pemilu dan Kepemimpinan Indonesia dalam Perspektif Politik Islam” yang digelar di Kampus Puteri STID Mohammad Natsir Cipayung Jakarta Timur pada Ahad, 30 Maret 2014 M atau bertepatan pada 28 Jumadil Ula 1435 H. Adapun dalam seminar ini dihadirkan pembicara pada bidangnya, Dr. Jeje Zaenuddin, M.Ag.
Indonesia menempuh sistem Pemilu sebagai mekanisme menegakkan kepemimpinan politiknya. Hal ini berdasarkan falsafah Negara dan tuntutan Konstitusi. Falsafah Negara menempatkan kerakyatan sebagai salah satu fondasi sistem politik, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” (Sila ke-4).
Adapun atas tuntutan Konstitusi yaitu berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-undang Dasar Negara republic Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”.
Zaenuddin menyampaikan bahwa dalam implementasinya, kekuasaan rakyat itu tidak mungkin dilaksanakan secara langsung dengan semua rakyat yang berkuasa, melaikan diwakili oleh sekelompok orang yang mendapat mandat sah dari rakyat untuk menjalankan kedaulatan tersebut.
Beliau menambahkan bahwa berdasarkan perspektif Islam, kedaulatan mutlak hanya milik Allah. Dan implementasinya melalui wahyu dan musyawarah. Maka, untuk mengislamkan sistem kepemimpinan Islam, perlu ada kompromi antara kedaulatan rakyat di Indonesia dan kedaulatan Tuhan dalam politik Islam. Hal ini bisa terjadi, sebab secara filosofis, falsafah Indonesia menegaskan bahwa norma tertinggi dalam Negara hukum Indonesia adalah norma “Ketuhanan yang Maha Esa”. Maka perundang-undangan di Indonesia harus mengacu pada norma dasar utamanya, Ketuhanan yang Maha Esa. Kedaulatan rakyat yang dibimbing dan dibatasi oleh koridor ketauhidan, bukan kedaulatan rakyat yang absolute dan liberal.
Beliau menyimpulkan bahwa kewenangan wakil-wakil dan para pemimpin rakyat dalam membuat undang-undang maupun peraturan perundang-undangan tidak boleh keluar dari batas apalagi menentang hukum Allah. Maka konsekwensinya, para pemimpin pemerintah dan para anggota legislatif yang harus dipilih rakyat adalah mereka-mereka yang faham dan taat akan hukum-hukum Allah, punya kemampuan dalam merumuskan norma-norma hukum Islam dari al-Qur’an, Sunnah, kitab-kitab fiqih dan fatawa menjadi perundang-undangan dan mampu mengimplementasikannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai kejayaan umat dan bangsa.
Dengan kata lain, beliau menganjurkan kepada muslim Indonesia untuk mengambil hak pilihnya dengan memilih pemimpin yang paling sedikit kebenciannya pada Islam.
Kemudian di akhir acara, dibahas “Pernyataan dan Himbauan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia tentang Pemilihan Umum 2014”, yaitu himbauan kepada seluruh Muslim Indonesia supaya menggunakan hak pilihnya, alias tidak golput. (Kaun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar