Seminar Politik
“Pemilu dan Kepemimpinan Indonesia
dalam Perspektif Politik Islam”
Penerapan
Syari’at Islam di Indonesia merupakan kewajiban. Banyak organisasi dan tokoh
muslim membahas bagaimana Syari’at Islam bisa tegak di Indonesia. Salah satunya
adalah dalam Seminar Politik “Pemilu dan Kepemimpinan Indonesia dalam
Perspektif Politik Islam” yang digelar di Kampus Puteri STID Mohammad
Natsir Cipayung Jakarta Timur pada Ahad, 30 Maret 2014 M atau bertepatan pada 28
Jumadil Ula 1435 H. Adapun dalam seminar ini dihadirkan pembicara pada
bidangnya, Dr. Jeje Zaenuddin, M.Ag.
Indonesia
menempuh sistem Pemilu sebagai
mekanisme menegakkan kepemimpinan politiknya. Hal ini berdasarkan falsafah
Negara dan tuntutan Konstitusi. Falsafah Negara menempatkan kerakyatan sebagai
salah satu fondasi sistem politik, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” (Sila ke-4).
Adapun atas
tuntutan Konstitusi yaitu berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-undang Dasar Negara
republic Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”.
Zaenuddin
menyampaikan bahwa dalam implementasinya, kekuasaan rakyat itu tidak mungkin
dilaksanakan secara langsung dengan semua rakyat yang berkuasa, melaikan diwakili
oleh sekelompok orang yang mendapat mandat sah dari rakyat untuk menjalankan
kedaulatan tersebut.
Beliau
menambahkan bahwa berdasarkan perspektif Islam, kedaulatan mutlak hanya milik
Allah. Dan implementasinya melalui wahyu dan musyawarah. Maka, untuk
mengislamkan sistem kepemimpinan Islam, perlu ada kompromi antara kedaulatan
rakyat di Indonesia dan kedaulatan Tuhan dalam politik Islam. Hal ini bisa
terjadi, sebab secara filosofis, falsafah Indonesia menegaskan bahwa norma
tertinggi dalam Negara hukum Indonesia adalah norma “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Maka perundang-undangan di Indonesia harus mengacu pada norma dasar utamanya,
Ketuhanan yang Maha Esa. Kedaulatan rakyat yang dibimbing dan dibatasi oleh
koridor ketauhidan, bukan kedaulatan rakyat yang absolute dan liberal.
Beliau menyimpulkan bahwa kewenangan
wakil-wakil dan para pemimpin rakyat dalam membuat undang-undang maupun
peraturan perundang-undangan tidak boleh keluar dari batas apalagi menentang
hukum Allah. Maka
konsekwensinya, para pemimpin pemerintah dan para anggota legislatif yang harus
dipilih rakyat adalah mereka-mereka yang faham dan taat akan hukum-hukum Allah,
punya kemampuan dalam merumuskan norma-norma hukum Islam dari al-Qur’an,
Sunnah, kitab-kitab fiqih dan fatawa menjadi perundang-undangan dan mampu
mengimplementasikannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara untuk
mencapai kejayaan umat dan bangsa.
Dengan kata lain, beliau menganjurkan kepada
muslim Indonesia untuk mengambil hak pilihnya dengan memilih pemimpin yang
paling sedikit kebenciannya pada Islam.
Kemudian di akhir acara, dibahas “Pernyataan dan
Himbauan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia tentang Pemilihan Umum 2014”, yaitu
himbauan kepada seluruh Muslim Indonesia supaya menggunakan hak pilihnya, alias
tidak golput. (Kaun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar